Jalan Panjang Menuju Kesehatan Jiwa Pekerja Indonesia dan Solusi yang Diperlukan
- quadrasinergi
- 18 Jun
- 3 menit membaca
Dian Lestari, M. Psi., Psikolog

Pengelolaan kesehatan mental pekerja adalah hal yang disadari cukup penting namun kenyataannya masih banyak perusahaan atau organisasi yang masih bingung dan terkendala dalam merencanakan program hingga melaksanakannya. Penentuan tujuan dan prioritas, metode dan desain, indikator hingga monitoring dan evaluasinya terkadang masih kurang tepat sehingga mempengaruhi efektivitas upaya pemeliharaan kesehatan mental pekerja dan juga pengendalian bahaya psikososial yang ada ditempat kerja. Selain itu, panduan, standar dan regulasi yang ada belum secara spesifik mengatur mengenai pengelolaan tersebut ataupun bersifat non mandatoryĀ sehingga tidak sedikit pimpinan perusahaan yang belum memahami dan menjadikan pemeliharaan dan perlindungan kesehatan mental pekerja sebagai prioritas.
Kesehatan mental sejatinya tidak hanya berarti bahwa seseorang ataupun komunitas organisasi tidak mengalami permasalahan kesehatan mental namun lebih kepada flourishing atau suatu kondisi adanya kombinasi perasaan yang baik dan keberfungsian yang efektif dan merupakan taraf Kesehatan mental yang tertinggi. Flourishing pada level organisasi ditandai dengan adanya 4 dimensi, yaitu positive meaning, positive relationship, positive communication & positive climate. Perbedaan wellbeingĀ dan flourishingĀ terletak pada kebermaknaaan bagi diri dan orang lain, sehingga pada flourishingĀ tidak hanya individu tersebut yang baik namun ia juga menimbulkan pengaruh baik pada orang-orang di sekitarnya. Dalam konteks organisasi, kondisi ini memudahkan adanya keseimbangan antara kesehatan mental pekerja dan juga produktifitas di Perusahaan atau organisasi. Adapun untuk mencapai flourishing, seseorang atau bahkan organisasi dan societyĀ perlu memiliki resiliensi, harapan, optimisme dan efikasi diri.
Resiliensi dapat dibangun dengan upaya pengembangan yang berkelanjutan dan memaksimalkan modal sosial (social capital) berupa relasi yang baik antara diri dengan pekerjaan, lingkungan sosial di pekerjaan dan juga organisasi. Hal ini tentunya sulit dicapai dalam kondisi lingkungan kerja yang toxic. Pada kondisi lingkungan kerja yang toxic ditandai dengan adanya turnover yang tinggi, perilaku narsistik dari pimpinan, paparan pada kekerasan atau peristiwa traumatis, kurangnya komunikasi yang positif dan efektif, banyaknya gossip yang meresahkan. Toxic environmentĀ juga disebabkan oleh budaya yang toxicĀ seperti terlalu kompetitif dan kurang kolaboratif. Efeknya mulai dari meningkatnya distrustĀ dan stres dan intensi turnover, menurunnya engagementĀ dan produktifitas kerja, permasalahan kesehatan fisik maupun psikologis hingga kematian dan juga tuntutan hukum.
Budaya organisasi tentu bukanlah hal sederhana atau mudah, perlu konsep hingga penerapan yang matang dengan mempertimbangkan efeknya pada semua aspek dalam organisasi. Mulai budaya yang kompetitif menuju budaya yang kolaboratif, tentu semua ada kelebihan dan kekurangannya salah satunya adalah banyak rapat yang juga bisa menjadi sumber stres tersendiri bagi pekerja terutama bila rapatnya belum efektif sehingga memakan waktu lama tanpa hasil keputusan yang bermutu baik dan proses yang tidak terdokumentasikan dengan baik. Adapun dalam penerapan budaya organisasi dibutuhkan change agentĀ sebagai motor penggerak perubahan dan juga membumikan budaya dalam organisasi dengan memberikan keteladanan. Selain change agent, tentu penggunaan teknologi saat ini dapat membantu perubahan budaya, inisiatif lainnya yang terkait dengan pekerjaan dan kesehatan mental di lingkungan kerja lebih mudah untuk dipromosikanĀ hingga evaluasi penerapannya.
Inisiatif atau program untuk pemeliharaan kesehatan jiwa di tempat kerja dapat dioptimalkan melalui penggunaan teknologi seperti pembuatan aplikasi, peralatan untuk simulasi dan lain sebagainya untuk membantu pekerja lebih mampu menghadapi. Namun demikian bukan berarti tidak akan menemui hambatan dalam penerapan dan penyerapannya. Hambatan yang dimaksud berupa keraguan akan efektifitas atau bahkan penolakan dikarenakan lebih nyaman dengan cara yang lama sehingga diperlukan pengemasan pesan dan upaya-upaya berbeda untuk kalangan-kalangan yang berbeda dalam sikapnya terhadap perubahan ataupun penggunaan teknologi baru agar penggunaan teknologi menjadi lebih efektif.
Pengelolaan kesehatan jiwa di pekerjaan memiliki lika liku, tantangan dan halangan yang perlu disadari dan dihadapi bersama baik dari kalangan Psikolog, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dan profesional di bidang lainnya. Banyak masalah artinya juga banyak cara dan peluang yang perlu dicobaĀ untuk mengatasinya. Dengan proses yang partisipatif, didasari dengan keilmuan dan landasan hukum tentu akan lebih mudah untuk mencapai tenaga kerja Indonesia sehat jiwa juga organisasi yang lebih produktif dan memiliki keunggulan kompetitif.
Comments