Burnout Ketika COVID-19
- quadrasinergi
- 2 Jun 2020
- 6 menit membaca
Work From Home (WFH) atau bekerja dari rumah sejatinya diterapkan oleh perusahaan sebagai upaya mengikuti kebijakan pemerintah dalam upaya pencegahan penularan Virus Corona di Indonesia. Layaknya dua sisi mata uang, WFH memiliki kelebihan dan kekurangannya juga khususnya dimata pekerja yang menjalaninya. Harapan karyawan akan WFH adalah terdapat kemudahan bekerja tanpa perlu menghabiskan banyak waktu untuk perjalanan ke kantor dan lebih banyak waktu untuk beristirahat dan waktu untuk keluarga. Sampai akhirnya setelah dijalani, WFH sendiri mulai terasa lebih menantang dari yang diharapkan dan tidak seperti yang diduga sebelumnya. WFH kemudian mulai berdampak pada kesehatan mental pekerja yang menjalankannya, salah satunya adalah timbulnya rasa tertekan yang memicu kerentanan mengalami burnout syndrome pada pekerja. Khususnya untuk profesi-profesi tertentu dimana target-target pencapaiannya cukup tinggi seperti pemasaran & komunikasi, bidang keuangan, dan lain sebagainya.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), burnout syndrome adalah kondisi stres kronis akibat pekerjaan yang ditandai dengan rasa lelah, kesal dengan pekerjaan, dan merasakan ketidakpuasan. Kondisi ini bisa dirasakan secara fisik maupun emosional. Secara emosional dapat muncul dalam wujud sikap menarik diri dari pekerjaan seperti terlambat saat virtual meeting ataupun dalam memenuhi deadline, merasa gagal hingga sikap negatif terhadap pekerjaan itu sendiri. Sakit ringan seperti kelelahan, flu, sakit kepala, sakit perut atau bahkan rambut yang rontok menjadi beberapa gejala fisik bahwa seseorang mengalami burnout syndrome.
Adapun pemicunya dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti :
Belum terbiasa WFH
Merasa beban kerja bertambah
Kepribadian
Hilangnya batasan
Kurangnya kontrol terhadap diri dan lingkungan
Ingin menjadi ‘pekerja produktif’ atau ‘pekerja sempurna’
Kurang koneksi sosial
Belum terbiasa WFH
Karena kita harus mengubah kebiasaan dimana kita dipaksa untuk beradaptasi dengan situasi baru, yaitu bekerja di rumah. Hal ini sudah cukup membuat stres dan bagi orang-orang yang memang memerlukan waktu lama untuk beradaptasi, tingkat stresnya bahkan bisa lebih tinggi. Selain itu, kerja di rumah diharuskan untuk mengatur jadwal kerja sendiri yang mana memerlukan adaptasi yang baru. Bekerja di rumah berarti juga pekerja harus bekerja dengan fasilitas, alat kerja dan kondisi yang kurang ergonomis atau menunjang kesehatan pekerja khususnya bila bekerja untuk waktu yang panjang. Fasilitas dan alat kerja yang tersedia terkadang juga kurang canggih jika dibandingkan dengan fasilitas di kantor. Teknologi yang digunakan pun pekerja harus siap menyepakati aplikasi atau software yang digunakan, mempelajari dan mengunakannya untuk bekerja dari rumah. Selain pekerja, keluarga juga cenderung membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri bahwa anggota keluarga mereka bekerja di rumah bukan berarti sedang libur.
Merasa beban kerja bertambah
Beban kerja dirasa makin bertambah karena keterbatasan gerak untuk mengerjakan tugas-tugas pekerjaan, kesulitan untuk berdiskusi dengan rekan kerja, dan belum lagi dengan tugas-tugas rumah yang harus dikerjakan. WFH memaksa seseorang untuk menjalankan multitasking. Sebelumnya saat bekerja di kantor yang dipikirkan hanya urusan kantor dan setelah pulang ke rumah bisa istirahat dari pekerjaan. Nah, sekarang dipaksa harus bisa beradaptasi dengan urusan kantor dan rumah sekaligus. Terlebih untuk pekerja perempuan yang sebelumnya sudah memiliki peran ganda sehingga dapat diibaratkan sudah bekerja double shift. Saat ini peran tersebut seperti bertambah lagi bobotnya dan hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan tersendiri bagi pekerja tersebut.
Kepribadian
Metode WFH khususnya di masa pandemik membuat pekerja menghadapi tidak hanya perubahan-perubahan namun juga banyak ketidakpastian.Kondisi perubahan dan ketidakpastian ini cenderung membuat orang dengan kepribadian tertentu lebih rentan mengalami rasa tertekan yang berujung pada burnout syndrome, seperti orang-orang yang tingkat kecemasannya tinggi, stabilitas emosinya rendah, dan atau perfeksionis.
Hilangnya batasan
Kurangnya keseimbangan kehidupan kerja adalah kontributor besar dari burnout. WFH dapat membuat semakin sulit untuk mencapai keseimbangan itu. Meninggalkan kantor setiap hari dan pulang pergi ke rumah adalah batasan yang membantu memisahkan pekerjaanmu dari kehidupan pribadi. Sedangkan hal yang terjadi pada kebanyakan orang ketika WFH adalah mereka sering bekerja lebih lama daripada ketika berada di kantor. Hal ini juga dapat disebabkan waktumeeting atau perintah kerja yang datang diluar jam kerja.
Kurangnya kontrol terhadap diri dan lingkungan
Karyawan yang merasa bahwa mereka tidak memiliki kendali atas jadwal, interaksi, dan manajemen waktu dapat berisiko kehabisan tenaga. Semua ketidakpastian saat ini akibat pandemi Covid-19 membuat mental terganggu dan menyebabkan burnout.
Ingin menjadi ‘pekerja produktif’ atau ‘pekerja sempurna’
Sebelum pandemi melanda ada obsesi untuk menjadi “pekerja ideal” yang selalu online dan tidak pernah menolak proyek. Kecenderungan ini juga diperburuk oleh peralihan ke WFH. Adanya kekhawatiran perusahaan akan mengira mereka malas saat bekerja di rumah dan mengakibatkan kemungkinan di PHK semakin besar. Dengan demikian orang akan lebih menekan batas kemampuannya hingga melebihi kapasitas, sehingga menyebabkan mereka burnout.
Harfous (2020), seorang Antropolog Digital, membahas mengenai mengapa seseorang merasa bersalah bila merasa kurang produktif dan merasa perlu memacu dirinya bekerja lebih keras dan lebih keras lagi. Orang merasa perlu menghasilkan lebih banyak dan lebih banyak lagi untuk merasa produktif. Salah satunya adalah persepsi yang sudah tertanam dalam diri kita mengenai sukses dan produktifitas. Selama ini, selalu ditanamkan bahwa seseorang yang sukses adalah orang yang bekerja keras.Ketika belum sukses berarti karena seseorang tersebut belum bekerja keras. Hal ini menyebabkan seseorang merasa kurang nyaman bila tidak bekerja keras atau tampak kurang produktif. Realitanya kerja keras hanya salah satu faktor dari kesuksesan seseorang. Selain itu, definisi kesuksesan bagi masing-masing orang itu sebenarnya juga berbeda dan tidak melulu bisa diukur dengan kelimpahan materi seperti yang selama ini digaungkan.
Konsep dari produktivitas sendiri sebenarnya berasal dari zaman revolusi industri yang pertama, dimana pekerjaan-pekerjaan cenderung bersifat manual dan menilai kinerja berdasarkan output yang konsisten. Akan tetapi, hal itu tentunya kurang sesuai dengan saat ini dimana jenis-jenis pekerjaan yang ada saat ini lebih beragam. Banyak pekerjaan yang tugasnya bersifat lebih abstrak seperti perencanaan, analisis, koordinasi, proses kreatif dan lain sebagainya sehingga lebih rumit untuk menilai kinerja atau produktivitasnya. Manusia bukanlah mesin yang bisa terus-menerus menghasilkan output yang konsisten tanpa istirahat.
Kurang koneksi sosial
WFH bisa membuat merasa terisolasi, bahkan ketika berada di rumah yang penuh dengan orang. Adanya kolega di tempat kerja untuk mengalihkan masalah atau memberikan bantuan dapat mengurangi kelelahan. Sebaliknya, jika tidak memiliki kolega atau jaringan pendukung rasanya sangat melelahkan. Berbeda dengan telecommuting yang masih memungkinkan kita bekerja dengan berganti tempat, suasana bahkan berinteraksi dengan orang yang berbeda, WFH membuat kita cenderung terpaku bekerja di rumah dengan pemandangan, suasana dan orang yang sama secara terus menerus sehingga turut menambah kejenuhan dan rasa tertekan.
Lalu, bagaimanacara kita bisa mengantisipasinya? Kita dapat membagi cara mengantisipasi burnout dalam beberapa level, yaitu organisasi, kelompok dan individu.
Organisasi
Mengidentifikasi posisi yang banyak terdampak oleh Covid-19 atau pegawai yang tinggi kerentanan mengalami burnout.
Melakukan training untuk level managerial dan supervisor atau minimal menghimbau untuk lebih memiliki kepekaan akan tanda-tanda stres yang dialami oleh anggota timnya. Lebih accessible untuk anggota tim menyampaikan permasalahan atau kendala-kendala yang mungkin mereka hadapi.
Menyediakan atau minimal mempromosikan layanan konseling dengan HR, Psikolog atau tenaga ahli lainnya yang dapat diakses oleh para karyawan selama masa pandemik ini.
Memfasilitasi virtual social gathering karyawan untuk menguatkan hubungan antar karyawan dan mengurangi tekanan yang terkait dengan pekerjaan.
Kelompok
Leader diharapkan lebih peka akan tanggung jawab lain yang dimiliki masing-masing anggota timnya sehingga menghindari penjadwalan meeting atau memberikan perintah kerja di luar jam kerja.
Leader lebih kreatif dan empati dalam melakukan pendekatan baik secara personal atau kelompok, mudah diakses oleh anggotanya.
Leader mendorong anggota tim untuk saling peduli dan mendukung rekan kerjanya.
Individu/Personal
Self care Siapkan diri untuk bekerja dengan cara cukup makan, minum, dan tidur. Jangan lupa untuk berolah raga atau senam ringan.Relaksasi dilakukan jika sudah mulai mengalami tanda-tanda stress.
Buat jurnal harian Siapkan jurnal, yang diisi dengan hal-hal yang harus dilakukan setiap harinya, mencatat pencapaian, atau menulis hal-hal perlu diingat pada hari itu.
Tentukan prioritas Kerja dari rumah pada masa pandemi ini bukan berarti kesibukan sehari-hari hanya bekerja sesuai mandat atasan. Tak jarang, banyak hal yang mesti diurus. Untuk membantu supaya kerja tetap optimal, Anda bisa menuliskan di sticky notes tentang apa saja yang harus dikerjakan sesuai prioritas.Kalau memang sedang dikejar deadline, tunda dulu bersih-bersih atau mencoba resep baru yang rumit untuk menu makan di hari tersebut. Kerjakan satu persatu, jangan memaksakan semua bisa dikerjakan di hari yang sama. Beri tubuh dan pikiran jeda dan istirahat.
Selalu bersyukur Setiap rasa malas bekerja muncul, ingatlah bahwa Anda masih lebih beruntung. Banyak orang yang kehilangan pekerjaannya atau tak bisa melanjutkan usahanya, sehingga tak punya penghasilan.
Membuat Batasan Jam Bekerja Jangan berlebihan dalam bekerja. Pastikan kita membuat batasan jam kerja dan berkomitmen untuk memenuhi jadwal tersebut.
Lakukan kegiatan lain yang menyenangkan Kalau sudah selesai bekerja, kita dapat melakukan aktivitas lain yang lebih positif atau yang bisa membuat mental lebih sehat. Contohnya melakukan hobi di rumah.
Beritahu Kondisi kepada Keluarga Risiko burnout syndrome bisa melonjak sangat tinggi jika Anda mengalami banyak kendala atau gangguan saat harus bekerja di rumah. Karena itu, penting sekali untuk memberitahukan jam kerja Anda pada anggota keluarga lainnya. Anda bisa meminta mereka untuk tidak mengganggu pada saat jam kerja. Jadi, Anda bisa fokus bekerja. Selain itu, percakapan dengan keluarga selama 15 menit dapat membantu menghindari burnout.
Ubah Pola Pikir Maklumi juga kalau bekerja di rumah tidak akan semaksimal di kantor. Jika di rumah, Anda akan lebih sulit untuk tek-tokan dengan rekan sehingga pekerjaan bisa saja terasa lebih berat. Kita perlu ubah pola pikir dimana kita perlu memahami bahwa di rumah pasti ada hambatan, tidak bisa cepat. Hal ini perlu dilakukan supaya tidak mudah mengalami stres.

Comentarios