Post Power Syndrom
- quadrasinergi
- 16 Nov 2022
- 3 menit membaca
Disusun oleh : Fitri Yunifar Hanum, S. Psi

Mendapatkan penghasilan tetap adalah suatu kebutuhan dasar yang diinginkan setiap orang. Salah satu cara yang menjanjikan untuk mendapatkan pendapatan tetap adalah menjadi karyawan. Selain mendapatkan penghasilan tetap, bekerja di suatu perusahaan memiliki benefit lain. Seperti jaminan kesehatan, jaminan hari tua, mendapatkan lingkungan sosial baru, juga status sosial.
Selama menjalani pekerjaannya, suatu individu akan menjalin hubungan baik antar sesama pekerja, aktivitas kerja yang teratur dan kecintaan terhadap pekerjaan tersebut ataupun lingkungan pekerjaan yang baik. Namun, setiap orang yang bekerja pada hakikatnya akan tiba pada suatu masa
dimana individu tersebut harus berhenti dari pekerjaannya. Penghentian kerja yang telah ditentukan waktunya seperti pensiun atau masa kontrak yang telah habis, atau penghentian kerja karena pemutusan hubungan kerja (PHK). Saat waktu pensiun tiba, semua hal yang didapat saat bekerja akan hilang, rasa sedih, cemas, timbulnya perasaan negatif karena harus meninggalkan hubungan yang telah terjalin dengan baik bertahun-tahun. Emosi negatif ini terjadi karena mereka harus meninggalkan teman-teman baik sebagai atasan ataupun bawahannya. Mereka juga akan meninggalkan status sosial ekonomi serta fasilitas-fasilitas lain yang mereka peroleh selama bekerja. Kekhawatiran, kecemasan dan ketakutan yang berkelanjutan akan berdampak pada keseimbangan emosional individu dan akhirnya akan termanifestasi dalam berbagai keluhan fisik, keadaan seperti itu dikenal dengan sebutan post-power syndrome (Haditono, 1989).
Post-power syndrome adalah kumpulan gejala atau “Purna kuasa” adalah reaksi somatosasi dalam bentuk sekumpulan symtom penyakit. Post-power syndrome itu suatu gejala-gejala pasca kekuasaan. Gejalaini umumnya terjadi pada orang- orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau menjabat satu jabatan, namun ketika sudah tidak menjabat lagi, seketika itu terlihat gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil (Kartono 2011).
Maka dari itu, Post-Power Syndrome memiliki ciri yang melekat pada diri yang mengalaminya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Elia (2003) bahwa ciri-ciri tersebut adalah;
· Orang yang senang dihargai dan dihormati orang lain, yang permintaannya selalu dituruti, yang suka dilayani orang lain.
· Orang-orang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena kurangnya harga diri, sehingga jika individu tersebut memiliki jabatan dia merasa diakui oleh orang lain.
· Orang-orang yang menaruh arti hidupnya pada prestasi jabatan dan pada kemampuan untuk mengatur hidup orang lain, untuk berkuasa terhadap orang lain. Istilah orang yang menganggap kekuasaan itu segala-galanya.
Post-Power Syndrome adalah gejala ketidakstabilan psikis seseorang yang muncul pada dirinya setelah hilangnya jabatan atau kekuasaan. Gangguan ini terjadi pada orang yang merasa dirinya sudah tidak dianggap dan tidak dihormati lagi.
Schwartz dalam Hurlock berpendapat bahwa pensiun merupakan akhir pola hidup atau transisi ke pola hidup baru. Pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, serta perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup setiap individu (Hurlock, 1992). Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa pensiunan adalah seseorang yang mengalami masa transisi menuju ke hidup baru karena kondisi fisik dan batasan usia, setelahsekian lama mengabdikan dirinya kepada perusahaan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi post power syndrome adalah penyesuaian diri. Palmore (dalam Santrock, 2002) menyatakan bahwa individu dewasa lanjut yang memiliki penyesuaian diri yang baik terhadap pensiun adalah individu yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas termasuk diantaranya teman dan keluarga, dan biasanya merasa puas dengan kehidupan sebelum pensiun. Individu memerlukan dukungan sosial dari relasi yang dibangun untuk menghadapi masa transisi agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
Dukungan sosial yang diterima oleh seseorang akan sangat mempengaruhi cara individu menyesuaikan diri dengan masa pensiunnya. Individu yang menerima dukungan sosial memadai lebih memungkinkan untuk berhasil dalam penyesuaian diri terhadap masa pensiunnya. Cohen (dalam Cotrada & Baum, 2011) mendefinisikan dukungan sosial sebagai jaringan sosial yang menyediakan sumber materiil maupun psikis yang bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan individu dalam mengatasi situasi sulit. Dukungan sosial yang diperoleh dari pasangan, anak, kerabat akan menjadi hal yang sangat penting untuk pensiunan agar memiliki pola hidup yang adaptif. Ketika pensiunan menerima perhatian, dan respon yang positif terhadap masa pensiunnya, maka pensiunan akan mengembangkan sikap positif dan merespon dengan baik masa pensiunnya. Pensiunan akan merasa berharga, dihormati dan disayangi. Sebaliknya ketika pensiunan tidak cukup mendapat dukungan sosial dari lingkungan terdekatnya tentang masa pensiunnya, maka ia akan mengembangkan perilaku-perilaku maladaptif seperti: menyendiri, merasa dikucilkan, merasa tidak berhasil dan tidak berharga.
Sumber:
Cotrada, R. J., & Baum, A. (2011). The handbook of stress science: Biology, psychology, and health. New York, NY: Springer Publising Company.
Elia. (2003) Post Power Syndrome. http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel079. (diakses tanggal 16 Juni 2013)
Haditono. (1989) Mempersiapkan Diri Menghadapi Masa Pensiun. Yogyakarta: UGM Press.
Hurlock E.B. (1992) Psikologi Perkembangan. Terjemahan Istiwidayati dan Soedjarwo. Jakarta:Erlangga.
Kartono, K (2010) Patologi Sosial. Jakarta: Grafindo Persada.
Santrock, J. W. (2002). Life- Span development 8th edition. New York, NY: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Комментарии