top of page

Gen Z dan Trend Flexing

  • Gambar penulis: quadrasinergi
    quadrasinergi
  • 2 Jul 2022
  • 2 menit membaca

Penulis : Fitri Yunifar Hanum, S. Psi

Akhir-akhir ini, kita sering melihat di media sosial, orang-orang yang membagikan cerita kehidupan dengan cara flexing. Mereka memamerkan apa yang dimiliki di laman media sosial. Hal tersebut biasanya untuk menunjukkan pencapaian yang telah dimiliki. Terdapat bumbu rasa bangga akan terjadinya hal tersebut dan menginginkan agar orang lain mengetahuinya. Membagikan di laman media sosial, dengan harapan adanya respon positif dari orang lain yang mengetahuinya. Sebenarnya, apa itu flexing? Mengapa generasi Z yang kedapatan sering melakukannya?


Menurut Cambridge Dictionary, flexing adalah menunjukkan sesuatu yang Anda miliki atau raih tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan. Sedangkan mengacu kamus Merriam-Webster, flexing adalah memamerkan sesuatu atau hal yang dimiliki secara mencolok. Contohnya, seorang influencer yang menunjukkan tas buatan desainer atau kemewahan lainnya di media sosial.


Asal mula munculnya kata flexing adalah bahasa gaul dari kalangan ras kulit hitam untuk "menunjukkan keberanian" atau "pamer" sejak tahun 1990-an. Asal kata "flex" atau flexing adalah melenturkan otot seseorang, yaitu untuk menunjukkan seberapa kuat fisik seseorang dan seberapa siap seseorang bertarung. Hal ini menjadi metafora dari flexing, yaitu mereka berpikir lebih baik dari yang lainnya. Tren flexing yang sering dibagikan para pesohor, membuat standar baru dalam kehidupan. Sebut saja saat dimana para pesohor Indonesia flexing isi rekening mereka di media, atau outfit yang dikenakan sehari-hari dengan barang-barang bermerk. Secara tidak langsung hal tersebut mempengaruhi kepada para pengikut dari laman media sosial pesohor tadi untuk menjadikan mereka sebagai inspirasi.


Generasi Z, seperti halnya dengan generasi milenial, dikenal sebagai generasi net atau generasi internet, mereka mampu mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu seperti nge-tweet menggunakan ponsel, browsing dengan PC, dan mendengarkan musik menggunakan headset. Apapun yang dilakukan kebanyakan berhubungan dengan dunia maya. Sejak kecil mereka sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget canggih yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kepribadian mereka.


Generasi Z adalah generasi pertama dunia digital. Smartphone dan media sosial tidak dilihat sebagai perangkat dan platform, tapi lebih pada cara hidup. Sebuah studi oleh Goldman Sachs menemukan bahwa hampir setengah dari generasi Z terhubung secara online selama 10 jam sehari atau lebih. Studi lain menemukan bahwa seperlima dari generasi Z mengalami gejala negatif ketika dijauhkan dari perangkat smartphone mereka.


Dengan lamanya penggunaan media sosial di dalam kehidupannya, generasi Z paling mudah terkena efek FOMO (Fear Of Missing Out). Cepatnya berita yang tersampaikan dari laman sosial membuat generasi ini merasa tertinggal dengan teman-teman sebaya, jika tidak mengikuti tren terbaru. Terkadang efek FOMO akan mempengaruhi alam bawah sadar manusia, dimana biasanya seseorang akan mengikuti orang lain yang memiliki kekuatan atau pun kelebihan yang lebih besar dari dirinya.


Hal tersebut menjadi penegas dalam otak bahwa orang yang flexing dapat dijadikan panutan. Akibatnya si pelaku flexing dapat dengan mudah menanamkan sesuatu dalam pikiran seseorang. Ini yang kemudian membuat seseorang mengalami efek negatif dari flexing, sehingga menjadi ketakutan jika kehilangan momentum untuk bila tidak dapat mengikuti tren yang dibagikan para pelaku flexing.


Ketika mengikuti tren flexing, seseorang biasanya tidak menggunakan pikiran panjang untuk mencerna. Untuk itu perlu adanya latihan menahan diri agar tidak implusif melakukan hal-hal yang telah dilakukan para pelaku flexing. Istirahat bermedia sosial juga dapat membantu untuk mengurangi rasa ingin mengikuti tren flexing tersebut. Carilah hobi baru yang dapat dilakukan tanpa berhubungan dengan smartphone. Yakini diri, bahwa mengurangi penggunaan smartphone adalah hal baik yang dapat dilakukan. Hal tersebut juga dapat mengurangi rasa cemas berlebihan.


Sumber:

https://caritahu.kontan.co.id https://id.wikipedia.org

https://Dictionary.com

コメント


bottom of page